Berpetualang Berarti Bebas (Namun Bersyarat)

Pernah suatu ketika, aku membayangkan menjadi seorang petualang: berkelana kesana-kemari untuk melihat beraneka ragam peradaban. Bayanganku, dengan berpetualang, aku bukan lagi seseorang yang dikenal oleh siapapun, aku akan menjadi orang asing tanpa dikenal, menikmati kebebasanku kemanapun aku mau, pikirku.

Berpetualang berarti bebas, lepas dari segala amanat yang berada dalam pundak mungilku. Tidak lagi memerintah maupun diperintah, bahkan sekedar untuk bernafas tak lagi ada yang melarang.

Bebas bukan berarti dapat melakukan apa saja sesuka hati, tentu ada batas-batas yang harus dijaga. Dalam peradaban modern kita mungkin tidak asing dengan istilah norma kesopanan. Namun terkadang, kesopanan versi kita dengan kesopanan setempat dapat disalah artikan. Masyarakat bisa saja menjustifikasi seseorang yang tidak sesuai dengan norma kesopanan mereka hanya karena kain-kain yang melekat pada badan seseorang. Atau hanya karena tutur kata yang apa adanya membuat Masyarakat sekali lagi dianggap melanggar norma kesopanan setempat.

Terkadang pembahasan semacam ini ibarat dua sisi mata koin, masing-masing selalu memiliki pembenarannya tersendiri, namun ia lupa untuk berpikir selayaknya orang yang memandang dua sisi koin tersebut.

Kembali ke pembahasan menjadi seorang petualang, aku bahkan sempat membeli barang-barang dengan tema luar ruangan seperti tas carrier, kompor portabel, hingga sandal luar ruangan. Sebenarnya selain membeli beberapa barang tersebut untuk berpetualang, aku juga menyukai olahraga pendakian, walau beberapa bulan ini terasa sangat malas melakukannya.

Keinginanku untuk berpetualang tidak terjadi dalam kurun waktu satu dua bulan ini, melainkan sudah sejak lama, bahkan sebelum aku terjebak dalam pesona dunia perkuliahan, sudah ada bayangan untuk bepergian. Bacaan-bacaan mengenai berpetualang dan menjelajahi hal baru semakin membuatku terkesima.

Tentu saja aku juga sadar akan resiko yang tersimpan di belakang itu, apalagi bepergian seorang diri, sangat beresiko. Biaya juga perlu menjadi pertimbangan serius. Seperti pengamatanku tiap bertualang, biaya yang terkuras jika dihitung-hitung bisa membengkak mendekati titik krisis, padahal jika menggunakan perhitungan sederhana, seharusnya biaya yang keluar hanya habis untuk sekedar retribusi dan bensin. Nyatanya saat di lapangan hasrat untuk membeli begitu besar, kadang juga terbersit dalam pikiran, sudah jauh-jauh kesini apa iya tidak sekalian mencicipi yang tidak ada di tempat lain dan membawa buah tangan? Seketika laju perekonomian meluncur deras membasahi wajah yang sudah masam ini.

Tetapi terkadang hal-hal semacam itu membuat kesan tersendiri baik untuk diri sendiri maupun untuk dibagikan kepada orang lain. Tambahan sedikit: walau terkesan remeh-temeh, namun membagikan pengalaman akan sangat membantu orang lain yang mungkin akan mengunjungi suatu tempat yang pernah kita lalui. Atau barangkali dapat menjadi pemicu orang lain untuk segera menuju kebebasannya. Namun, ada beberapa masalah baru ketika kita memutuskan untuk berpetualang dan mencari kebebasan, menjadi agen atas terciptanya sampah, atau bisa juga menjadi bagian privatisasi pariwisata oleh pemodal-pemodal besar. Lalu bagaimana itu semua bisa terjadi? Tunggu saja tulisan terbaru kaligulali heuheu…

Dikirimkan di Esai

Tinggalkan komentar